23 Des 2011 Tags: 0 komentar

MENANTI SANG GURU PENDIDIK


MENANTI SANG GURU PENDIDIK*
Oleh : Sri Hidayati*

Prolog
Ada sebuah anekdot yang sangat sederhana, namun memiliki implikasi makna yang jauh berbeda jika diucapkan dengan intonasi yang berbeda pula, yakni “jadilah guru” dan “jadi-lah guru”. Dahulu, menjadi guru adalah sebuah profesi alternatif terakhir, karena tidak mampu bersaing di bidang profesi lain yang diharapkan. Sehingga daripada sarjana yang disandangnya tidak menghasilkan apa-apa, maka “Menjadi Guru Jadi-lah”. Namun sekarang, menjadi guru adalah profesi yang diminati banyak orang, terlebih para orang tua yang telah lama menghabiskan hidupnya dalam dunia keguruan juga. Mereka secara bangga akan mengatakan kepada anaknya “Anakku……Jadilah Guru”. Bagi para orang tua yang berstatus PNS, ia akan mengusahakan bagaimana anaknya bisa jadi PNS juga. Hanya dengan alasan sederhana yakni, “hidup terjamin meskipun gaji kecil hingga hari tua”. Akhirnya tak jarang para orang tua menempuh segala macam cara untuk meloloskan anak2nya tersebut, hingga tidak tahu lagi mana yang jelas halal, haram, atau remang-remang. Na’uzubillahiminzalik…

Sebuah kenyataan pahit !!

 Ketika kita berbicara tentang pendidikan, maka ada 1001 masalah yang muncul dan terkait di dalamnya. Apakah dari segi sistem, kualitas guru, manajemen sekolah, dan undang-undang. Belum lagi permasalahan peserta didik yang membutuhkan solusi dalam rangka menghasilkan output peserta didik yang cerdas, beriman, serta memiliki keterampilan yang memadai (skill yang unggul).
            Belum hilang dalam ingatan ketika para mahasiswa begitu heroik dan idealis menyerukan tentang pemerataan pendidikan, sistem pendidikan yang timpang (karena cenderung mengedepankan aspek kognitif), serta pendidikan yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Semangat itu sungguh berkobar hingga memunculkan optimisme untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Namun ketika sebahagian mereka berada di lapangan real dunia kependidikan dengan “kursi empuk” yang mereka duduki, semangat heroik itu seakan malu-malu untuk menampakkan dirinya kembali, idealisme itu mengendur oleh bertaburnya “kertas nominal merah” disana-sini, dan optimisme untuk menjadi figur guru tauladan pun hilang ditelan kerumunan orang-orang yang tidak terlalu mementingkan arti nilai sebuah pendidikan yang sejati. Apa kemudian yang terjadi ?
Tak pelak kita pun menemukan wajah pendidikan kita yang suram, penuh kerutan dan tanpa sebuah sunggingan senyuman yang akan memberi secercah harapan. Di tengah-tengah kota, kita menemukan banyak guru yang sesak memenuhi sekolah-sekolah negeri, namun enggan untuk bermigrasi ke daerah pelosok demi tujuan mencerdaskan anak bangsa. Tak jarang juga kita jumpai, stok guru yang banyak, namun minim kompetensi dan semangat berkompetisi. Ditambah lagi ketauladanan dan ketulusan mengabdi yang mulai redup dari sosok para pendidik kita. Jikalau sudah seperti ini, apa yang harus kita lakukan ?

Arti Sebuah Pendidikan…. >>>
Kata pendidikan bukanlah kata yang asing lagi terdengar di telinga. Kata pendidikan sudah muncul sejak beratus-ratus abad silam. Bahkan Al-Hadits telah menerangkan urgensi pendidikan pada fase setelah manusia dilahirkan dan menuju perkembangan alamiahnya menjadi seorang anak, dengan penggalan redaksinya yakni ”al-ummu tarbiyatul ula lil aulaad”. Hadits ini kira-kira memiliki arti bahwa ibu merupakan pendidikan pertama buat seorang anak. Mendidik dalam hadits tersebut tidak menggunakan bahasa “‘allama”, akan tetapi menggunakan pilihan bahasa yang tepat, yakni “tarbiyah”. Hal ini memiliki arti bahwa pendidikan seorang ibu yang diberikan kepada anaknya bukanlah dalam bentuk pengajaran semata, akan tetapi berupa ketauladanan, contoh nyata, dan proses pembelajaran dari setiap fase kehidupan yang dilalui sang anak tersebut. Sebagai contoh, ketika seorang anak akan belajar naik ke tempat-tempat yang lebih tinggi, pendidikan orang tua adalah bukan melarang sang anak untuk melakukan hal yang menurut ia menarik, menantang, dan membuat penasaran. Semakin sering orang tua membuat pelarangan dan penyebutan kata “jangan”, sang anak akan semakin tertarik untuk menemukan sebuah jawaban atas pelarangan orang tuanya tersebut.
Namun, jika orang tua memberikan pendidikan atas perkembangan proses berpikir anak, orang tua hanya akan mengatakan “hati-hati nak,… berpegangan, dan lihat sekeliling tangga yang akan dinaiki”. Secara tidak langsung, ungkapan tersebut akan memberikan pendidikan kepada anak dalam menjalani hidup. Sejak kecil anak telah diajarkan untuk waspada, berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan mengambil keputusan, sabar dalam menjalani hidup, dan sesekali lihatlah sekeliling kita, apa yang terjadi dengan orang-orang di sekitar kita. Sungguh luar biasa.. Bukan tidak mungkin jika proses pendidikan telah ditanamkan sejak kecil, sang anak akan mampu melihat sesuatu tidak hanya dari kulit luar saja, namun sang anak akan mampu melihat apa yang terdapat di dalam sesuatu tersebut, sehingga menghasilkan sesuatu yang jauh lebih mempesona dari sekedar kebagusan kulit luarnya saja.
Ketika seseorang mendidik, maka hal yang mutlak diperlukan adalah proses pembelajaran dua arah. Proses pembelajaran dua arah yang dimaksud adalah proses belajar dan proses mendidik yang dilakukan antara guru dan murid. Artinya selama proses pembelajaran guru mampu memperoleh manfaat dari pendidikan yang diajarkannya, sedangkan siswa memperoleh manfaat dari proses belajar yang dilakukannya. Menurut pandangan penulis, belajar adalah sebuah proses perubahan perilaku atau dalam bahasa Inggrisnya “learn is the process to change behaviour. Konsep ini akan membawa konsekuensi bahwa setiap orang yang belajar, apakah yang ia peroleh berupa ilmu atau pengetahun, maka proses belajar yang dilaluinya harus menunjukkan perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang yang melakukan peristiwa belajar, semestinya ia mampu menangkap 3 pertanyaan pokok dari kegiatannya tersebut, yakni “apa” esensi sesuatu yang ia pelajari - kemudian “bagaimana” cara ia mempelajari sesuatu tersebut – dan setelah ia memperolehnya sebagai suatu ilmu pengetahuan, ia akan mampu menjawab “untuk apa” sesuatu yang dipelajarinya tersebut. Proses belajar seperti ini disebut juga dengan “berpikir ilmiah”. Yakni proses berpikir yang mampu mengedepankan sisi ontologis, epistemologis, dan aksiologis proses belajar itu sendiri. Maka, penulis sangat sependapat dengan model taksonomi belajar yang dikemukakan oleh Bloom, bahwa belajar sejatinya mencakup tiga aspek, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini berarti hasil dari proses belajar tersebut tidak hanya bisa diukur dari sisi kognitifnya saja, afektifnya saja, atau psikomotoriknya saja. Namun secara keseluruhan harus mencakup ketiga komponen diatas dalam mata pelajaran apapun.
Pembelajaran dua arah juga akan memiliki implikasi bahwa, hasil belajar tidak hanya diperoleh oleh peserta didik saja. Di sisi lain, guru juga mampu mengambil nilai-nilai dari proses mendidik yang dilakukannya. Dalam hal ini kata belajar dan mendidik memiliki peran penting. Seorang siswa yang belajar harus mampu memahami materi dan nilai dari mata pelajaran tertentu yang dipelajarinya. Sedangkan seorang guru yang mendidik, ia harus mampu memperoleh nilai moral dan materil dari pelajaran yang diajarkannya. Proses pembelajaran dua arah tersebut akan menuntut para guru untuk piawai dalam mentransfer pengetahuan. Selain itu, guru juga dituntut memiliki tanggung jawab moral bagaimana siswa mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang dibelajarakan dalam kehidupannya sehari-hari. Selain itu, proses belajar dalam mendidik akan tetap berlangsung meski guru dan siswa tidak berada dalam kelas pembelajaran.
Teori-teori bukanlah hal yang paling utama, namun bagaimana peserta didik mampu mengimplementasikan teori yang telah diperolehnya menjadi seseuatu yang bermanfaat baik berupa nilai-nilai kehidupan  ataupun perilaku  keseharian. Sedangkan proses penginternalisasian dalam bentuk perilaku bukanlah perkara mudah, mengingat tantangan globalisasi dan modernisasi yang begitu cepat merambah dan menggerus tata nilai kehidupan manusia. Artinya tidak sedikit dari remaja khususnya para siswa  yang terkontaminasi dengan efek negatif globalisasi. Hingga pada titik nadir terendah, disadari atau tidak perkembangan zaman yang semakin mereduksi tata nilai dan moral masyarakat telah membawa para siswa kita kehilangan acuan dalam menjalani kehidupan.

Sebuah Solusi Mendasar  !!



Maka saat ini yang mendesak adalah bagaimana jiwa pendidik, bukan pengajar menjadi kepribadian para guru. Kepribadian pendidik akan memberikan  keteladanan bagi siswanya dalam setiap perilaku. Seorang guru pendidik akan terus mengembangkan potensi dirinya dalam tugas mulia mencerdaskan anak bangsa, karena sekali lagi mendidik bukan hanya menyampaikan ilmu-ilmu yang harus diketahui oleh siswanya. Mendidik adalah memberikan ilmu sekaligus nilai-nilai yang akan menjadi keluhuran budi dan ketinggian akhlak dari ilmu yang telah mereka miliki. Seorang guru pendidik akan mampu menghasilkan peserta didik yang terdidik. Siswa yang terdidik akan mampu menyiapkan diri mereka menjadi generasi-generasi bangsa yang terdidik, yakni memiliki keluasan ilmu, kecakapan keterampilan, dan keluhuran dalam budi pekerti.
Sesungguhnya, Pe eR para pendidik bangsa ini masih sangatlah banyak. Secara mendasar, seseorang yang telah memilih karir hidupnya sebagai guru telah memikul 3 tanggung jawab dalam keprofesiannya, yakni : mempersiapkan – mengajar -  dan mengevaluasi. Maka guru yang terdidik harus memiliki 3 kemampuan mendasar tersebut, yakni : (1) piawai dalam mempersiapkan pembelajaran yang mampu memenuhi kebutuhan peserta didik, (2) profesional dalam mengajarkan ilmu sesuai keragaman karakteristik dan potensi bawaan siswa, dan (3) bijaksana dalam melakukan penilaian dan memberikan nilai kepada siswa.
Lantas, pertanyaannya sekarang adalah “Siapakah mereka???”. Mereka adalah anda sekalian, para calon pencerdas anak-anak bangsa. Di tangan kalianlah kemajuan bangsa, karena kunci kemajuan suatu bangsa adalah pada “pendidikannya”. Persiapkan diri anda untuk menjadi para guru pendidik, bukan guru pengajar. Guru pendidik adalah guru yang sadar akan tanggung jawabnya mendidik. Sedangkan guru pengajar bisa jadi adalah guru bayar ataupun guru nyasar yang menilai mengajar hanya tugas untuk memenuhi nafkah semata atau sekedar  mengisi kekosongan waktu yang menghasilkan uang. Mulai detik ini, silahkan anda menentukan karakter model pendidikan anda, biarkan  orang lain yang memberi label pada diri anda bahwa ANDA adalah Guru Sadar yang Layak Menyandang Gelar PENDIDIK.
Maka, MENDIDIK adalah TUGAS SEMUA ORANG YANG TERDIDIK .!! (by Anies Baswedan)

* Tulisan  ini disajikan pada kegiatan diskusi kependidikan  yang diselengarkan oleh Forum Diskusi Kependidikan Uniski, pada tanggal 19 Desember 2011.

* Penulis adalah staf pengajar Uniski pada Prodi PPKN.

No Response to "MENANTI SANG GURU PENDIDIK"

Posting Komentar